Latest Post

Indahnya toleransi beragama di kompleks Puja Mandala Bali

Konflik antar umat beragama atau pun umat se-agama di sejumlah daerah memunculkan tanda tanya besar tentang seberapa kuatkah toleransi di Tanah Air saat ini.

Di Bali, kokohnya toleransi itu salah satunya tercermin dari berdirinya lima rumah ibadah yang saling berdampingan di komplek Puja Mandala, Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung.

Di komplek seluas 2 hektar ini, sejak 15 tahun silam telah berdiri Masjid Ibnu Batutah, Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa, Gereja Kristen Protestan Bukit Doa, Pura Jagat Natha dan Vihara Budhina Guna.

Terletak di Jalan Siligita Nusa Dua, lima rumah ibadah itu lokasinya saling bersebelahan penuh dengan nuansa keharmonisan. "Ini menjadi miniatur kerukunan antar umat beragama," kata Camat Kuta Selatan Wayan Puja kepada merdeka.com, Sabtu (8/9).

Dia menuturkan, komplek Puja Mandala bantuan PT BTDC (Bali Tourism Development Centre) itu awalnya dibangun sebagai sarana beribadah wisatawan yang berlibur di kawasan Nusa Dua.

Seiring perjalanan waktu, Puja Mandala kini menjadi simbol toleransi antar umat beragama di Bali. "Meskipun di Bali mayoritas pemeluk Hindu, Bali menjunjung tinggi toleransi," tegas Puja.

Bahkan setiap musim liburan tiba, komplek Puja Mandala menjadi tujuan wisata religi. Utamanya dari wisatawan domestik, namun tak sedikit juga wisatawan asing.

Selain bisa menikmati pesona toleransi dalam satu lokasi, dari dataran tinggi ini juga wisatawan juga bisa menyaksikan keindahan kawasan Nusa Dua. Sebelum beranjak meninggalkan kompleks ini, wisatawan pun tak lupa berfoto dengan latar belakang lima rumah ibadah.

"Sungguh luar bisa ketika bisa menyempatkan diri beribadah di komplek ini," ujar Yulia Astuti, wisatawan asal Bandung.

sumber
 

Indahnya Anak Pesantren Berbagi Daging Kurban Dengan Panti Kristen

Sekitar 70 anak dari Pesantren Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA), Turi, Lamongan, Jawa Timur, berbagi daging kurban dengan anak-anak Kristen Panti Asuhan Don Bosco, Surabaya. Perbedaan keyakinan, tak harus melepaskan 'baju' persaudaraan di antara mereka. Beda agama, bukan berarti harus berseteru, saling menghakimi dan saling menganggap paling benar.

"Agama lahir membawa kedamaian. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, bukan pembawa petaka atau pertikaian antar umat," terang Deputi Oprasional SPMAA, GB Adhim, Sabtu (27/10).

Adhim mengatakan, wujud kongkret dari kalimat rahmatan lil alamin, salah satunya membangun persaudaraan antar ummat.

"Berbagi hewan kurban ini misalnya. Daging kurban tidak harus atau hanya bisa dinikmati umat muslim saja, khsusunya anak-anak yatim-piatu juga bisa menikmati daging kurban. Daging kurban bermanfaat bagi umat manusia tanpa memandang perbedaan agama," tegas alumnus Stikosa-AWS ini.

Pria yang akrab disapa Gus Adhim ini juga menceritakan, awal hubungan persaudaraan antar agama dan antar kota ini terbentuk, ketika tahun 2009 silam, suster-suster Don Bosco kerab melakukan kunjungan di Ponpes sekaligus Lembaga Pendidikan Madratsah Islam (MI) Kaaffah, Lamongan.

"Mereka magang atau ingin belajar bagaiman merawat dan mendidik anak-anak di alam pesantren. Biasanya mereka live in atau belajar dan tinggal di pesantren."

Selanjutnya, dari kerjasama itu, suster-suster Don Bosco sering mengajak pihak SPMAA giliran bertandang ke Surabaya. "Namun, karena kesibukan yang cukup padat, baru hari ini, keinginan itu bisa terlaksana. Hari ini kami berbagi daging kurban untuk kali pertama dengan ummat non muslim. Kami menyiapkan 1.000 tusuk sate dari Lamongan," sambung Adhim.

Senada dengan Adhim, pengasuh Yayasan Yatim Piatu Don Bosco, Suster Yustim mengatakan: "Ini adalah wujud persaudaraan kami, sebagai ummat manusia, meski beda keyakinan."

Sedangkan misi yang kedua, kegiatan ini juga bertujuan untuk memperbaiki citra Islam, khususnya Ponpes di Lamongan pasca bom Bali yang dimotori oleh Amrozi cs. "Islam tidak identik dengan kekerasan. Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Kalau kita bisa berbagi, kenapa harus bertikai?" sahut Adhim lagi.

Selain membangun citra Islam dan ukhuwah Islamiyah, kegiatan ini juga memberi kebahagian tersendiri bagi anak-anak.

"Musuh kita bukan sesama manusia, tapi hawa nafsu. Kami di sini belajar bagaimana berbagi dengan sesama. Musuh kita buka seperti ini: Oh ini agama Kristen, ini Budha, ini Hindu, dan ini Islam, trus kita saling bermusuhan. Persaudaraan tidak mengenal agama dan tidak pernah usai, karena manusia dilahirkan untuk persaudaraan," kata salah satu santriwati SPMAA, Dava Salamah Muchtar yang masih duduk di bangku kelas 6 SD.

Sementara selesai bakar-bakar 1.000 tusuk sate di halaman belakang panti, mereka berkumpul dan menikmati hidangan sate kambing bersama-sama. Karena beda agama, merekapun berdoa secara bergantian sesuai keyakinan mereka.


sumber
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ID-Toleransi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger